Rabu, 22 Februari 2012

Baitul Asyi, Warisan Peradaban Islam Aceh Baitul Asyi, Warisan Peradaban Islam Aceh

oleh : M Adli Abdullah – Opini

Dalam artikel kali ini, saya ingin kembali menggugah perhatian kita terhadap Baitul Asyi. Sebagaimana diberitakan Serambi Indonesia, baru-baru ini, 2.600 jemaah calon haji (JCH) asal Aceh di Mekkah, menerima pembagian uang kompensasi pengelolaan Baitul Asyi.
Tahun ini, dana Baitul Asyi yang disalurkan untuk para jemaah haji (JCH) asal Aceh sebesar 4.959.600 riyal atau Rp 14.878.800.000 kepada 4.133 jemaah (Serambi Indonesia, 29 Oktober 2010), Pemberian uang kompensasi ini dari pengelola Baitul Asyi (Rumah Aceh) di Mekkah, terus menjadi perbincangan para jemaah haji Nusantara.



Pada masa pemerintahan rezim Soeharto di tahun 1980an, pernah meminta Prof DR Ismail Suny, Duta Besar Republik Indonesia di Saudi Arabia yang juga orang Aceh untuk mengurus aset Baitul Asyi, yang sekarang berjumlah Rp 5.7 triliun. Tujuannya, agar Baitul Asyi dialihkan menjadi milik pemerintah Republik Indonesia dan dimanfaatkan untuk kepentingan jemaah haji Indonesia.
Tetapi pengelola Baitul Asyi, saat itu, Syeikh Muhammad Shaleh Asyi dan pemerintah Saudi Arabia, menjelaskan bahwa wakaf tidak boleh dipindah milikkan dan dialihkan selain dari yang telah dicantumkan oleh pewakaf. Menurut sejarah, Habib Bugak Asyi (Habib Abdurrahman Al-Habsyi) yang hidup pada masa kerajaan Islam Aceh Darussalam telah mewakafkan berupa rumah pemondokan di Qasasiah, ke hadapan Hakim Mahkamah Syariyah Mekkah pada 18 Rabiul Akhir tahun 1224 H. Tujuannya adalah sebagai tempat pemondokan warga negara Aceh yang menunaikan ibadah haji ke Mekkah atau pemondokan bagi siswa siswi Aceh yang belajar di Mekkah. Disamping itu, harta agama ini juga diniatkan untuk tempat tinggal bagi warga negara Aceh yang bermukim di Mekkah.
Sekiranya karena sesuatu sebab tidak ada lagi orang Aceh yang datang ke Mekkah baik untuk naik haji, belajar dan atau bermukim disana, maka rumah wakaf ini dapat dimanfaatkan untuk siswa siswi yang berasal dari seluruh nusantara (Jawi) setingkat dengan ASEAN sekarang. Jika tidak ada lagi Jawi, wakaf ini diserahkan kepada Imam Masjid Haram untuk membiayai kebutuhan Masjidil Haram.
Nadhir pertama Baital Asyi ini adalah Syeikh Abdullah Baid Asyi, pengarang kitab Jarrah. Sekarang pengurus Baital Asyi Syekh Munir Abdul Ghani Mahmud Asyi yang dibantu oleh Syekh Khalid bin Abdurrahim bin Abdul Wahab Asyi dan diawasi oleh Kementerian Haji dan Wakaf Saudi Arabia, dengan menempatkan Syekh Dr. Abdul Lathif Balthu sebagai pengawas agar pengelolaan baitul asyi sesuai dengan ikrar wakaf  yang dilakukan oleh Habib Bugak Asyi 18 Rabiul Akhir tahun 1224 H pada masa kerajaan Aceh Darussalam.
Pada musim 2010 ini, nadhir Baitul Asyi akan meletakkan batu pertama pembangunan pemondokan asrama haji Aceh diharapkan hadir Wakil Gubernur Aceh Muhammad Nazar yang juga akan melaksanakan ibadah haji kali ini, Pembangunan pondok ini direncanakan selesai pada tahun 2014. Target yang hendak dicapai adalah agar asrama ini dapat menampung 5.000 jamaah haji asal Aceh. Sehingga kedepan jemaah haji yang berasal dari Aceh tidak perlu lagi menyewa pemondokan selama melaksanakan ibadah haji. Lagi-lagi, pelaksanaan proyek ini sesuai dengan ikrar wakaf Habib Abdurahman Al Habsyi Al Asyi pada tahun 1224 H.
Sebenarnya harta wakaf Aceh di Saudi bukan hanya diwakafkan oleh Habib Abdurahman Al Habsyi Al Asyi (Habib Bugak Asyi). Dari beberapa hasil penelusuran penulis, ada 19 persil lagi perlu ditelusuri keberadaannya sekarang, yang telah terkena perluasan Mesjidil Haram maupun pembangunan fasilitas haji di Mina. Karena walau bagaimanapun Saudi Arabia yang memberlakukan syariat Islam sangat menjaga keberadaan tanah wakaf sebagai warisan peradaban Islam. Di antara tanah wakaf tersebut adalah wakaf Syekh Muhammad Saleh Asyi dan isterinya Syaikhah Asiah (sertifikat no 324) di Qassasyiah; wakaf Sulaiman bin Abdullah Asyi di Suqullail (Pasar Seng); wakaf Muhammad Abid Asyi; wakaf Abdul Aziz bin Marzuki Asyi; wakaf Datuk Muhammad Abid Panyang Asyi di Mina, Wakaf Aceh di jalan Suq Al Arab di Mina, Wakaf Muhammad Saleh Asyi di Jumrah ula di Mina, Rumah Wakaf di kawasan Baladi di Jeddah, Rumah Wakaf di Taif, Rumah Wakaf di kawasan Hayyi al Hijrah Mekkah, Rumah Wakaf di kawasan Hayyi Al Raudhah, Mekkah, Rumah Wakaf di kawasan Al-Aziziyah, Mekkah, wakaf Aceh di Suqullail, Zugag Al Jabal, dikawasan Gazzah, yang belum diketahui pewakafnya, wakaf Syekh Abdurrahim bin Jamaluddin Bawaris Asyi (Tgk Syik di Awe Geutah) di Syamiah Mekkah dan Syekh Abdussalam bin Jamaluddin Bawaris Asyi (Tgk di Meurah) di Syamiah, Abdurrahim bin Abdullah bin Muhammad Asyi di Syamiah dan Khadijah binti Muhammad bin Abdullah Asyi di Syamiah.
Saya melihat peristiwa pembagian harta wakaf di Arab Saudi memberikan pelajaran yang cukup penting bagi rakyat Aceh. Pertama, para endatu kita selalu memikirkan masa depan, ketimbang kepentingan mereka saat itu. Hal ini berbeda dengan para endatu sekarang yang hanya berpikir “tiga jengkal di atas perut.” Untuk memuaskan sejengkal di bawah pusar. Kejelasan dan kecermelangan cara berpikir itu tampaknya yang sulit dijumpai saat ini. Sehingga warisan endatu sekarang cenderung meninggalkan masalah, ketimbang menyelesaikan masalah. Sosok Habib Bugak dan para pewakaf lainnya adalah ciri endatu yang berpikir tentang bangsa Aceh. Mereka sengaja meletakkan kata bilad untuk Aceh yang mengambarkan Aceh sebagai sebuah nanggroe.
Kedua, jika di luar negeri, aset wakaf orang Aceh dijaga dengan baik, maka di Aceh sebaliknya. Tanah wakaf di Aceh sampai saat ini belum diatur sedemikian rupa oleh pemerintah Aceh. Kasus tanah wakaf Blang Padang milik mesjid Raya Baiturrahman misalnya,   sampai saat ini belum mendapat kejelasan. Walaupun pemerintah kolonial Belanda yang nota bene penjajah tetapi tetap menghormati umeng meusara (tanah wakaf) mesjid Raya tersebut (Van Langen, 1889), malah saat ini tanah wakaf Blang Padang ini menjadi rebutan antara pemerintah Aceh dengan Kodam Iskandar Muda. Selain itu, dan banyak tanah tanah wakaf lain di Aceh saat ini, terkadang menjadi sumber sengketa.
Ketiga, endatu dulu berpikir bagaimana mendapat “beureukat” dari amal yang dilakukan, sementara sekarang orang lebih suka “meukat” dalam segala hal untuk persoalan “tiga jengkal.”
Keempat, sejatinya para hujaj di Aceh juga tidak hanya belajar menikmati uang dari hasil tanah wakaf baitul asyi tersebut. Tetapi juga memikirkan bagaimana belajar melakukan wakaf. Sampai saat ini, belum terdengar adanya para haji yang berani melakukan amal seperti para endatu di atas. Padahal jika tradisi wakaf di Aceh dibangkitkan kembali, maka beberapa persoalan umat akan bisa di atasi, khususnya dalam bidang sosial keagamaan. Jangan ada di dalam benak kita yang belum berhaji ke Mekkah untuk beradham ingin mendapatkan dana wakaf ini ketika sedang berhaji. Alangkah baiknya, jika dana tersebut diwakafkan kembali kepada fakir miskin di relung hati para hujaj dari Aceh.
Akhirnya, persoalan Baitul Asyi menyiratkan bahwa tradisi berwakaf merupakan bagian dari peradaban Islam Aceh. Warisan ini perlu dicontoh dan bahkan direvitalisasi dalam kehidupan beragama saat ini. Walaupun kita tidak akan pernah menjadi pewakaf sekaliber Habib Bugak, namun jika tradisi berwakaf ini disosialisasikan, maka akan banyak beureukat daripada meukat tanah di Aceh. Karena itu, saya ingin mengajak untuk merenung bagaimana mengembangkan kembali tradisi berwakaf di Aceh. Paling tidak, anak cucu kita akan menikmati hasilnya dari harta agama ini.
* Penulis Dosen Fakultas Hukum Unsyiah dan Direktur Pusat Kajian Peradaban dan Budaya Aceh.
sumber : http://www.serambinews.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar