Eksistensi ulama, sayyid dan habib sudah tumbuh sejak awal Islamisasi terjadi di Aceh, periode Kesultanan hingga masa kolonial. Mereka telah memainkan peran utama dan membangun pilar penting dalam bidang keagamaan, kenegaraan dan perekonomian. Sebagian kecil dari mereka tercatat rapi dalam manuskrip seperti Hikayat Raja-raja Pasai dan Bustanus Salatin. Namun, sebagian besar pudar dengan berbagai sebab, hanya meninggalkan sebuah teka teki nama, termasuk diantaranya Habib Bugak dan Sayyid Abdurrahman.
Sumber-sumber yang saya gunakan adalah surat ikrar Mahkamah Syari’ah Mekkah dan 6 (enam) sarakata Kesultanan Aceh dari hasil inventarisasi dan laporan Dr Hilmi Bakar dan Tim Red Crescent. Perbedaannya “mungkin” cara dan metodelogi yang digunakan untuk membedahnya, dari secuil ilmu yang saya miliki dan sumber terbatas yang saya ketahui. Sebagai info,
ikrar waqaf Mekkah ditulis tahun 1222 H, sedangkan sarakata I (1206 H), II & III (1224 H), IV (1270 H), V (1289 H) dan VI (tanpa tahun). Dan dua dari enam sarakata tidak berstempel Kesultanan.
Saya memulai dengan beberapa pertimbangan dari sumber di atas. Pertama kata Bugak dan tahun dalam ikrar wakaf di Mekkah tercatat pada tahun 1222 H. Apabila kata Bugak merujuk kepada julukan (kuniyah/kunyah) daerah atau tempat Habib meninggal dan dimakamkan, maka itu akan bertentangan dengan isi sarakata II, III, IV dan V, karena disebutkan ia masih hidup dan berkiprah di tahun 1224 H, 1270 H dan 1289 H di Peusangan, bukan di Bugak.
Sebaliknya, jikalau anggapan bahwa Bugak nama aslinya dan al-Asyi kuniyah-nya, maka jelas tidak ada hubungan sama sekali dengan isi sarakata I, II, III, dan IV karena disebut dengan Sayyid Abdurrahman bin Alwi Peusangan, bukan Habib Bugak. Logikanya bahwa, Mahkamah Syariah Mekkah –dunia Arab umumnya- tidak mencantumkan gelar saja tanpa nama lengkap –termasuk ayah kandung- dalam surat resmi, namun itu yang telah terjadi. Di Aceh, tradisi pemakaian al-Asyi sudah lazim pada abad ke-19 M setelah namanya seperti Muhammad Zain al-Asyi pengarang kitab Kasyf Kiram, Bidayat al-Hidayat, atau Abbas al-Asyi pengarang kitab Sirajul Zalam dan Kitabur Rahmah fil Thib, juga Ismail al-Asyi penyusun kitab Jawami’ dan Tajul Muluk, mereka sezaman dengan Sayyid Abdurrahman bin Alwi.
Selanjutnya, dalam hipotesa Dr Hilmi menunjukkan bahwa ia tidak mutlak menyimpulkan Habib Bugak adalah Sayyid Abdurrahman bin Alwi al-Habsyi. Ia hanya menghubungkan dua nama tersebut yang hidup dalam periode yang sama, yaitu antara ikrar wakaf Habib Bugak tahun 1222 H (1800 M) di Mekkah dengan sarakata Sayyid Abdurrahman tahun 1206-1281 H (1780-1865 M) di Aceh. Keraguannya terletak pada kata “Bugak” di dalam ikrar Mekkah bertulis “ba-waw-kaf-alif-hamzah”. Sedangkan keenam sarakata Kesultanan tidak satupun terdapat tulisan Bugak di dalamnya, akan tetapi Sayyid Abdurrahman Peusangan di sarakata I, II, III, IV, Sayyid Ahmad bin Sayyid Husain Monklayu di sarakata V, dan tuan Sayyid Abdurrahman di sarakata VI.
Kedua tokoh Aceh, Prof. Alyasa Abubakar dan Prof. Azman Isma’il, -menurut Dr Hilmi- juga tidak pernah menyebut Habib Bugak adalah Sayyid Abdurrahman. Bahkan –menurut laporan- Dr Hilmi pernah mengklarifikasi via sms kepada Prof. Alyasa Abubakar, menyebutkan belum ada data pasti tentang Habib Bugak, karena di ikrar waqaf tidak tercantum nama aslinya. Asumsinya adalah, jika nama dan biografinya belum jelas, apalagi asal usul hartanya, warisannya, keluarganya dan perannya di Aceh atau di Mekkah, serta hal-hal lainnya.
Sebagai perbandingan, sosok Faiz al-Baghdadi yang tercatat dalam naskah Syattariyah koleksi Zawiyah Tanoh Abee disebut sebagai Mufti dan Syaikhul Islam (1630-1636 M) di akhir hayat Sultan Iskandar Muda (1636 M), tepatnya setelah meninggal Syamsuddin as-Sumatrani tahun 1039 H/1630 M dan sebelum resmi hadir Nuruddin ar-Raniri (1637-1644 M) di Aceh. Akibatnya, sebagian masyarakat percaya bahwa Hamzah Fansuri dan Syamsuddin as-Sumatrani dihukum pancung atas perintah Nuruddin ar-Raniri. Padahal tidak ada interaksi di antara mereka, karena jarak waktu yang sangat berjauhan.
Demikian juga sosok Saifurrijal dalam laporan Peter Sourij atau Saifullah dalam naskah Fathul Mubin ‘ala al-Mulhidin, menjadi kunci penting dalam penyelesaian kasus Wujudiyah dengan Nuruddin ar-Raniri tahun 1643 M. Akan tetapi, umumnya dikenal Abdurrauf al-Fansuri yang mendamaikan kedua kubu tersebut, padahal ia kembali ke Aceh tahun 1661 M, atau sekitar 17 tahun setelah kepulangan Nuruddin ar-Raniri ke India. Ini dikarenakan kita berhenti pada satu titik pembahasan, dimana beberapa tokoh penting lainnya yang sezaman belum tersentuh kajiannya.
Dalam dunia filologi, kritik teks (tahqiq) menjadi salah satu metode untuk mengetahui originalitas dan mengekplorasi kandungan isi manuskrip atau naskah kuno, termasuk sarakata. Maka, memahami pemaknaan konteks saat teks lahir (ditulis) sangat penting, seperti penggunaan kata-kata “memberi ia hadiah”, “waqaf”, “mengelola” dan “ikrar perjanjian” sebagaimana yang terdapat dalam sarakata. Dari sisi kodikologis, validitas media yang digunakan, kertas dan stempel Kerajaan menjadi kajian utama. Itu sebabnya, tidak semua sarakata terbubuh stempel Kesultanan, ada prosedural dan kriteria yang ditetapkan.
Dalam kandungan Sarakata I misalnya (tanpa stempel) disebut “itulah Teuku bin Hakim bernama Raja Seukayu Meurah dan Teuku Ben Panjoe dan Teuku Keujruen Muda Proeum dan Teuku Keujruen Pupoeh dan segala tuha-tuha semahunya memberi ia hadiah tanoh glee Leulab akan Teungku Sayyid Abdurrahman bin al-Alwi anak cucu Teungku Sayyid Ahmad Habsyi”. Berbedadi sarakata II tertulis “Perbuat sepucuk surat akan Sayyid Abdurrahman ibn Alwi Peusangan. Syahdan, akan orang waqaf samanya yang sebelah Punteut dan sebelah Ie Masen pertama-tama Teuku Awee Geutah dan Teuku Polem”
Dalam adat dan tradisi Aceh, pemberian gelar “Teungku” kepada Sayyid seperti di atas menunjukkan bahwa kakek dan keluarganya sudah lama menetap di Aceh dan telah memberi konstribusi besar di bidang agama, ekonomi dan sosial masyarakat Aceh. Dalam kasus ini (sarakata I) bahwa Sayyid Abdurrahman dipercayakan menangani hama tikus, sebagaimana yang telah dilakukan kakeknya. Itu menunjukkan bahwa keluarga dan kakeknya telah lama tinggal di Aceh. Tentunya ini menyanggah pernyataan ia lahir dan dibesarkan di Mekkah.
Masih banyak nama-nama ulama dan tokoh penting dalam sarakata tersebut yang hidup sezaman seperti Habib Ahmad bin Sayyid Husein Mongklayu, Sayyid Ahmad Habsyi, dan Habib Peusangan atau para Teuku, Uleebalang dan lainnya yang telah disinggung di atas yang dapat dihubungkan satu dengan lainnya. Dengan demikian, tidak tertutup segala pintu kemungkinan akan hubungan dan jaringan di antara sosok dan tokoh-tokoh tersebut.
Kita tidak mengingkari adanya wakaf Habib Bugak di Mekkah. Tetapi itu bukanlah satu-satunya wakaf Aceh disana sudah ada sejak ratusan tahun, masih banyak wakaf Baitul Asyi lainnya manjadi misterius, dimana “jamaah haji dan masyarakat Aceh” tidak mengetahui status, tempat, dan pengelolaannya, apalagi menempatinya saat musim haji. Oleh karena itu, Kajian kedua tokoh Aceh di atas serta Dr Hilmi menjadi modal awal untuk terus mendalami dan mempublikasi alim ulama dan tokoh-tokoh penting di Aceh. Inilah PR kita dengan tidak menutup buku sumber sejarah Aceh dan menukarnya dengan cerita mitos lainnya.
Sumber : http://hermankhan.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar