Rabu, 22 Februari 2012
Pewakaf Baitul Asyi Bernilai Rp 5,5 Triliun: Rakyat Aceh
Seorang hartawan Arab yang menetap di Aceh abad 17-18 dilaporkan telah mewakafkan hotel berkapasitas 7000 orang, diperkirakan bernilai 200 juta Riyal atau Rp 5,5 triliun yang diwakaf untuk penginapan jemaah haji asal Aceh. Karena berada dekat dengan Masjidil Haram, kini dua bangunan mewah yang masing-masing tinggi 25 dan 28 lantai itu di kelola oleh seorang ulama Aceh, sesuai keputusan Mahkamah Syar’iyah Mekkah.
Pemilik rumah di Qusyasyiah yang berada diantara Marwah dengan Masjidil Haram dan kini dekat dengan pintu Bab Al Fatah, yakni Habib Abdurrahman bin Alwi Al Habsy atau digelar Habib Bugak Asyi. Ulama kelahiran Mekkah 1720 M ini pernah mendapat kepercayaan dari Kerajaan Aceh Darussalam, saat dipimpin oleh Sultan Mahmud Syah (1763 M), dia kini dimakamkan di Dusun Pante Sidom, Desa Pante Peusangan, Kecamatan Jangka Kabupaten Bireuen.
Dua bangunan mewah yang diwakafkan Habib Bugak untuk jemaah haji Aceh yaitu, Hotel Ajyad (Funduk Ajyad) bertingkat 25 dan menara Ajyad (Burj Ajyad) bertingkat 28. Kedua bangunan yang mampu menampung 7.000 penghuni berjarak sekitar 500 meter dari Masjidil Haram. Awalnya, sesuai akta ikrar wakaf disebutkan bahwa Habib Bugak Asyi telah mewakafkan rumah dan tanah miliknya di hadapan Mahkamah Syar’iyah Mekkah, untuk penginapan bagi orang-orang yang datang dari Aceh guna menunaikan ibadah haji, serta warga Aceh yang menetap di Mekkah.
Habib Bugak telah menunjuk Nadzir (pengelola) yang merupakan salah satu ulama Aceh dan menetap di Mekkah, Nadzir ini diberi hak sesuai ketentuan syariah Islam. Pada tahun 1420 Hijriah (1999 M) Mahkamah Syar’iah mengukuhkan Syeh Abdul Ghani bin Mahmud bin Abdul Ghani Asyi (generasi ke 4) sebagai Nadzir.
Lalu, tahun 1424 H (2004 M) tugas itu dilanjutkan oleh sebuah tim yang dipimpin anaknya yakni Munir bin Abdul Ghani Asyi, serta Dr Abdul Lathif Baltho. Wakaf fisabilillah itu kini telah berharga 200 juta riyal lebih, pengelolaan aset ini di bawah pengawasan pemerintah kerajaan Arab Saudi.
Informasi yang dihimpun Rakyat Aceh pada Sekretariat Habib Bugak Centre, Desa Bugak Krueng, Kecamatan Jangka menyebutkan, Pemprov NAD telah mencatat sebanyak Rp 25 miliar dana pemondokan jemaah haji Aceh selama di Mekkah, sudah dikembalikan dari pengelolaan wakaf Baitul Asyi yang diwariskan untuk masyarakat Aceh. Setiap jemaah rata-rata memperoleh Rp 3,5 juta. Karena masih banyak orang belum mengetahui sosok hartawan dermawan ini, maka Hilal Ahmar (Red Cressent) melakukan penelitian selama enam bulan tentang Habib Bugak Asyi.
Hasil penelitian yang dipimpin Dr Hilmy Bakar MBA diketahui bahwa pewakaf Baitul Asyi yakni Habib Abdurrahman bin Syekh Al Habsy, lahir di Mekkah dan tiba di Aceh 1760 M pada usia 40 tahun. Ulama Arab ini kemudian mendapat kepercayaan dari Sultan Mahmud Syah, dan ditugaskan sebagai Teuku Chik (sultan lokal) dengan sejumlah gelar. Diantaranya, Teuku Chik Monklayu, Bentara Laksamana Di Monklayu, Tengku Habib, Qadhi, Imuem dan Khatib, serta Waly Al Amri bi Al Darury Wa Al Syaukah (Wakil Sultan Urusan Keagamaan dan Administrasi).
Surat Sultan Aceh Darussalam yang masih tersimpan di Habib Bugak Centre dengan stempel Sikureueng (Sembilan-red), tertera bahwa Habib Bugak mendapat kekuasaan di kawasan utara sebagai Sultan lokal, dengan daerah kekuasaan mulai Pante Sidom, Monklayu, Cunda dan Nisam dengan kota syahbandar di Kuala Ceurapee. Kedudukan ulama Arab ini, telah membuatnya menjadi seorang hartawan terkemuka pada jaman itu.
Setelah 40 tahun merantau di Aceh, Habib Abdurrahman kembali ke tanah Arab guna menemui keluarganya. Hingga pada bulan Rabiul Akhir 1224 H (1800 M), dia mewakafkan sebidang tanah dan rumah yang berdekatan dengan masjidil haram untuk rakyat Aceh. Baik yang bermukim maupun jemaah haji dengan nama Habib Bugak Asyi (seorang habib dari Bugak Aceh).
Setelah mewakafkan hartanya itu, kemudian Habib Bugak kembali ke Aceh melanjutkan syiar Islam yang dipusatkan di Monklayu dan Bugak. Pada bulan Rajab atau tiga bulan kemudian, Sultan Mahmud Syah kembali mengeluarkan surat resmi yang mengukuhkan kedudukan Habib Bugak sebagai penguasa lokal wakil Sultan di pesisir Utara Aceh dan berpusat di Bugak.
Hingga Habib Abdurrahman mangkat dan dikebumikan di kawasan Pante Sidom, Kecamatan Jangka. Namun, setelah penjajah kolonial Belanda masuk ke Aceh tahun 1870, sejarah Habib Bugak mulai dilupakan dan ditinggalkan. (bersambung)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar