A. Di Sumatera dan Semenajung Melayu
Ceu atau tapal batas Aceh di Pondok Kelapa (patok mirah-pal merah) sekarang masuk Sumatera Utara, yaitu dekat kawasan Gudang KURNIA sekarang.
Sementara itu, menurut Hikayat Panglima Malem Dagang, batas Aceh sampai Sungai Kampar di Riau. Pada masa Belanda mendarat ke Sumatera Timur, berhasil direbut daerah taklukan Aceh sampai ke daerah Gebang. Pada masa itu Gubernur Sumatera Timur, Tuanku Hasyem Banta Muda, berhasil menghadang pasukan Belanda yang hendak ke Aceh. Makanya, daerah tersebut diberi nama Geubang (sekarang Gebang masuk wilayah Propinsi Sumatra Utara). Di situlah batas Aceh pada masa perang dengan Belanda di Sumatera Timur. Pada masa bergabung dengan Indonesia, batasnya dipindah lagi ke Langkat Teuming.
Tanjong Pura
Di sini juga pernah seorang Keuchik Nanggroe—Gubernur Aceh bertugas. Gubernur tersebut yang berasal dari Meureudu, Pidie, yang sampai sekarang masih ada keturunannya di Tanjung Pura.
Tanah Batak
Di Tanah Batak pernah ditugaskan seorang panglima Aceh, namanya Panglima Tgk Chik Mad Said, berasal dari Panton Labu, memerintah di sini. Tgk Chik Maad Said kemudian digelar Sisingamangaraja yang pertama. Beliua bukan orang batak, kuburannya sekarang dapat dilihat di Tomok Samosir. Panglima Tgk Chik Mad Asaid kala itu didampingi seorang wakil, yaitu Panglima Nyak Makam. Kuburan sang wakil ini ada di Brastagi. Namun, kemudian ada Sisingamaraja yang memerintah di Batak, yakni Sinsingamangaraja XII. Dia berasal dari keturunan Batak bermarga Sinambela, dan beragama Kristen. Tidak dijelaskan bagaimana tampuk kepemimpinan ini berpindah dari yang beragama Islam sampai ke Aceh.
Minangkabau
Di daerah ini pernah ditugaskan seorang panglima, yang bernama Panglima Nyak Gam. Sampai sekarang masih ada bukti sebuah daerah yang diberi nama Kabupaten Agam di wilayah Sumatera Barat ini. Di Kabupaten Agam inilah daerah kekuasaan Panglima Nyak Gam, masa itu. Negeri yang masuk kekuasaan beliau mulai dari Minangkabau sampai Bengkulu. Bukti sejarah, kuburan beliau terdapat di Bukittinggi. Wakilnya adalah Panglima Nyak Don, yang berasal dari Trieng Gadeng. Selain di Minangkabau, masih di wilayah Sumatera Barat, tepatnya di Pariaman, juga ada seorang keturunan Aceh, yang digelar Paderi. Paderi berasal dari sebutan Pidie. Di sana banyak keturunan ulama-ulama yang berasal dari Pidie yang dibawa pada masa Sultan Ali Mughayatsyah dalam misi pengembangan agama Islam ke daerah Minagkabau.
Bengkulu
Pernah ditugaskan seorang panglima sagoe di Bengkulu. Panglima sagoe tersebut bernama Teungku Panglima Nyak Ali (nan seutia), yang bersal dari Meuraksa, Ulee Lheue. Dia dimakamkan di Krui Bengkulu. Di daerah tersebut juga, sampai sekarang, masih banyak keturunan Panglima Nyak Ali. Menurut salah satu sumber sejarah, beliau itu merupakan Nek Tu-nya Cut Nyak Dhien.
Riau
Di daerah Melayu satu ini pernah bertugas seorang Chik Nanggroe—Gubernur asal Aceh. Dia bernama Tgk Panglima Japakeh Meureudu. Namun, dia meninggal karena ditikam dari belakang oleh tentara Sriwijaya. Mayatnya kemudian dibawa pulang ke Aceh dan disemanyamkan di Mesjid Madinah Meureudu, Pidie.
Malaysia (Malaya)
Di Malaya juga pernah bertugas seorang Chik Nanggroe—Gubernur Aceh, yang bernama Panglima Tgk Chik Muhammad. Dia memerintah mulai dari Temasik (Singapura), Johor, sampai daerah Genting Kra, perbatasan dengan Thailand (Siam). Bukti sejarah, kuburannya dapat dijumpai di Johor Baru, Malaysia.
B. Di Eropa hingga Afrika
Di belahan Eropa pernah bertugas perwakilan nanggroe (duta-Ambassador) dengan wakil dagang di Midleburg, Midelland. Di Negara Belanda, pada posisi waki nanggroe atau duta negara dimandatkan kepada Tgk Abdul Hamid Pangwa Meureudu, dengan beberapa orang wakil dagang serta staff wakil negara. Tgk Abdul Hamid ini meninggal dan semanyamkan di Pulo Midelland, Midelburg, Belanda. Kemudian, para waki lainnya yang masih hidup sepakat membeli tanah untuk didirikan gedung atau kantor duta negara dengan Waki Dagang yang kemudian dikenal dengan sebutan Perwakilan Dagang. Di halaman gedung itu dipancang Tiang Bendera Alam Peudeung Aceh. Pada Masa itulah, Bendera Alam Peudeung dikenal oleh dunia luar.
Duta yang didirikan di Belanda merupakan perwakilan untuk semua Negara Eropa, bukan untuk Belanda saja walaupun letaknya di Negara Belanda. Wakil atau duta negara yang masih hidup dan kembali ke Aceh, lalu wafat di tanah Aceh, kuburannya dapat dijumpai di Gampong Baro. Sayangnya, tidak ada upaya pemeliharaan dari pemerintah terhadap makam-makam tersebut, semua terbengkalai.
Turki
Di daerah ini pernah ditugaskan seorang Waki Nanggroe (Duta Negara) dan Waki Dagang (Perwakilan Dagang) beserta staffnya. Untuk duta di Negara Turki bernama Tgk. Abdul Jalil, yang bersal dari Panton Labu. Sekarang di negara tersebut ada empat kuburan yang sudah tidak jelas namamya lagi.
New Delhi India
Penah ditugaskan seorang Waki Nanggroe dan Waki Dagang. Namanya sudah tidak bisa dikenal lagi, di sana ada empat buah kuburan ureueng Aceh.
Canton dan Caulon China
Ada Waki Nanggroe dan Waki Dagang di daerah ini, namanya juga tidak diketahui lagi. Yang jelas, di Negara Cina, ada enam buah kuburan orang asal Aceh. (Keterangan dari warga Tionghoa di Peunayong).
Jeddah dan Makkah, Arab Saudi
Di daerah ini juga ada perwakilan dagang Aceh serta gedungnya. Terdapat dua buah kuburan, tetapi namanya sudah tidak bisa kenali (dibaca) lagi. Kemudian, di Makkah didirikan sebuah banguna Rumah Aceh sebagai tempat istirahat atau Rumah Singgah Jema’ah Haji dan orang yang sedang menuntut ilmu di tanah suci tersebut, tepatnya di samping Masjidil Haram. Namun, karena ada perluasan Masjidil Haram, sekarang rumah itu sudah dipindah dan diganti dengan banguna batu. (Menurut keterangan seorang kawan dari Peusangan, Matanggelumpangdua, Kabupaten Bireun, tanah dan bangunan itu diwakafkan oleh seorang habib dari Bugak, Peusangan, namanya Habib Bugak).
Isfahan (Iran)
Di daerah ini pernah didirikan Waki Dagang, namanya juga sudah tidak bisa diketahui lagi. Perlu penulurusan (transect walk) lagi untuk mengetahuinya.
Afrika
Di Iskandaiyah, Mesir, peranah juga ada Waki Dagang Aceh dan gedungnya, namun sayang namanya sudah kabur dan tidak bisa kenali lagi.
Maroko
Di sini juga pernah ada Waki Dagang Aceh, sayangnya untuk menelusuri namanya, juga sudah kabur.
Kongo
Di Kongo pernah didirikan Waki Dagang Aceh juga, sampai sekarang masih ada keturunanya di negara tersebut dan mereka masih fasih berbicara bahasa Aceh (keterangan Seorang Pasukan Garuda (TNI) yang pernah dikirim dalam misi perdamaian di Kongo).
Angola, Afrika Selatan
Di tengah-tengah rute dagang Asia-Eropa, dalam masa orang Aceh berniaga, sering kali mereka beristirahat dan mendirikan sebuah rumah singgah (balee). Demikian halnya di Angola, juga tedapat balee Aceh. Tempat itu kemudian menjadi ramai dan menjadi pusat perdangangan, namanya Kuala Balee. Sampai sekarang tempat tersebut masih disebut Kuala Balee oleh orang-orang Angola.
oleh Zulfadli Kawom. Bergiat di JKMA Pasee.
Dimuat di Buletin Tuhoe Edisi VII, Desember 2008
Kategori: Esai
Label: Afrika, Indatu, Sumatera, tuhoe VII, Ureueng Aceh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar