Rabu, 22 Februari 2012

Belajar dari Rumah Masa Depan Jemaah Haji Aceh


Mekkah, 7/12 (Pinmas) – Hanya sepelemparan batu dari Masjid Haram, di lantai 15 gedung yang seluruhnya bertingkat 25, terpampang jelas pusat peribadatan umat Islam di seluruh dunia. Tak perlu jauh melangkah, cukup membuka daun jendela kamar yang menghadap Masjid Haram, suara imam mesjid terdengar jelas melantunkan ayat suci. Makmum tinggal mengikuti seluruh bacaan sholat tersebut dari kamar.
Begitu mudahnya. Tak perlu berdesakan, tak perlu berpanasan, termasuk mencari transprotasi, itulah gambaran rumah masa depan jemaah haji asal Aceh. Rumah, yang kini lebih pantas disebut sebagai hotel itu, adalah peninggalan (wakaf) seorang Habib Aceh, Bugak Asyi. Konon, pada 18 Rabi’ul Akhir 1224, habib kaya raya tersebut mewakafkan tanah, yang pada awalnya berada di daerah Qusyasyiah, antara tempat Sa’i dengan Masjid Haram lama, kepada jemaah haji Aceh yang datang ke Mekah. Dia ingin, saudara-saudaranya itu tidak terlunta-lunta saat menjalankan ibadahnya di tanah suci.


Di hadapan Hakim Mahkamah Syariah, dia menyatakan keinginannya itu. Dia menambahkan, selain jemaah haji Aceh yang datang ke Mekah, orang Aceh yang menetap di Mekah juga bisa menempati rumahnya. Namun, karena perluasan Masjid Haram sekitar tahun 1950-an, rumah tersebut kena gusur. Maka Nazhir (pengelola) yang merupakan keturunan dari Nazhir pertama yang ditunjuk oleh Bugak Asyi, Syeikh Muhammad Shalih bin Abdussalam Asyi, diberi ganti rugi. Dan uang tersebut kemudian digunakan untuk membeli dua lokasi tanah di daerah Jiad, sekitar 500 meter dan 700 meter dari Masjid Haram. Nazhir juga membeli sepetak tanah di daerah Aziziah, Mekah. Kesemuanya untuk tempat tinggal jemaah haji asal Aceh maupun orang Aceh yang tinggal di sana , Sayangnya, karena kemudian ada perubahan sistem penyelenggaran haji, khususnya sistem perumahan dari sistem Syeikh ke maktab (muasassah), maka orang Aceh tidak leluasa lagi menempati rumah tersebut. Sebab, apabila dalam sistem Syeikh, rumah disediakan oleh Syeikh, dan pemerintah Indonesia membayar rumah kepada Syeih, maka dalam sistem maktab, pemerintah Indonesia yang meyewa rumah. Baru setelah itu, pemerintah menyerahkan kepada Syeikh bersama dengan jemaah yang akan menempatinya untuk diurus oleh maktab. Jadi, jemaah tak leluasa menentukan sendiri pemondokannya. Masalah ini jelas menimbulkan kerancuan bagi pengelola wakaf, sehingga mereka kemudian membicarakannya dengan pemerintah Indonesia . Upaya ini tidak mulus. Karena terhalang kebijakan perhajian yang dibuat oleh pemerintah Indonesia dan pemerintah Arab Saudi ketika itu, yang tidak memberi peluang untuk keterlibatan pihak swasta. Baru pada akhir tahun 1990-an, masalah ini ada jalan keluarnya, Yakni, Nazhir diberi tugas untuk mengembangkan wakaf. Dan melalui pembicaran dengan pemerintah Indonesia, dalam hal ini Menteri Agama Indonesia, dan Gubernur Aceh, disepakati bahwa untuk jangka panjang, Nazhir akan membangun rumah di Mekah yang dapat menampung semua jemaah haji asal Aceh. Namun, sebelum rumah tersebut selesai dibangun, maka Nazhir akan memberikan pengganti uang sewa rumah kepada jemaah haji asal Aceh. Besarnya uang penggantian itu, sebesar sewa yang diberikan pemerintah Indonesia kepada pemilik rumah, yang disesuaikan dengan kemampuan keuangan Nazhir. Dan kini, dua dari tiga lokasi tanah yang dikelola Nazhir tengah direnovasi oleh dua investor. Menjelang megah di jantung peribadatan muslim dunia, kedua bangunan yang hanya berjarak sekitar seratus meter satu dan lainnya itu, diharapkan sudah bisa ditempati oleh jemaah haji asal Aceh pada sekitar 17 tahun mendatang. Dan selama bangunan-bangunan tersebut belum bisa ditempati jemaah Aceh, maka mereka akan mendapatkan uang pengganti sewa pemondokan yang telah dibayarkan kepada pemerintah Indonesia . Seperti yang terjadi di Hotel An Nawal, Kamis (6/12), sekitar 4.282 orang jamaah asal Embarkasi Banda Aceh (BTJ) memperoleh pembayaran uang pengganti sewa rumah dari Nazhir Wakaf Habib Bugak Asyi. Masing-masing jemaah mendapat pembayaran sekitar US$337 dalam bentuk cek. Dijelaskan Muneer A.G Ashi yang kini menjadi Ketua Nazhir, pemberian uang pengganti diberikan dalam bentuk cek, dengan harapan agar para jemaah tidak membelanjakan uangnya untuk hal yang tidak berguna selama di Mekah. “Lebih baik uang itu untuk modal mereka di tanah air, agar ekonomi rakyat Aceh bisa bergulir,” kata laki-laki yang fasih berbahasa Inggris tersebut. Tapi di luar semua itu, belajar dari Wakaf Habib Bugak Asyi, tak ada salahnya pemerintah mulai mengikutinya. Sebab, masalah pemondokan , berkaitan erat dengan kenyamanan jemaah dalam menjalankan ibadahnya. Sebagai negara dengan jumlah jemaah haji terbesar setiap tahunnya, sudah selayaknya pemerintah memikirkan hal-hal yang menyangkut kenyamanan jemaahnya. Karena ini juga menyangkut harga diri, posisi tawar dan nama besar sebuah bangsa. (Ade F. Siregar)

sumber: kemenag.go.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar