Rabu, 22 Februari 2012

Serambi Mekkah: Catatan Sejarah Kedermawanan Rakyat Aceh di Tanah Hijaz (Mekkah, Saudi Arabia)


Masih ingatkah Anda catatan sejarah tentang sumbangan masyarakat Aceh untuk perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia? Saat itu masyarakat Aceh menyumbangkan emas kepada pemerintah RI  untuk membeli pesawat tahun 1948. Sebagian emasnya masih dapat Anda lihat kini pada tugu Monas (Monumen Nasional).

Hal ini bukan satu-satunya bukti kedermawanan rakyat Aceh. 200 tahun lebih sebelumnya, masyarakat Aceh telah mempraktekkan salah satu ajaran Islam yaitu, “tangan di atas, lebih baik daripada tangan di bawah”.

Abad ke-17 Masehi (1672) dikabarkan Syarif Barakat penguasa Mekkah  saat itu tengah berbenah diri membangun kota Mekkah terutama masjid-masjid yang memiliki nilai sejarah Islam. Syarif Barakat berupaya mencari sumbangan untuk pemeliharaan Masjidil Haram mengingat kondisi Arab pada saat itu kekurangan dana.

Masjid Al-Nabawi di Madinah dan Masjidil Haram di Mekkah  ternyata terkait dengan sumbangsih Kesultanan Aceh Darussalam yang tak banyak diketahui ceritanya. Ada banyak sekali harta wakaf dari rakyat Aceh berupa barang maupun tanah  masih tersimpan di Arab Saudi.

Hingga kini, simbol rasa terima kasih diberikan penguasa Mekkah terhadap keluarga dari Kesultanan Aceh Darussalam dengan pemberian gelar Al Asyidi sana. Ada banyak sekali orang Arab keturunan Aceh mendapat kedudukan di Kerajaan Saudi Arabia. Salah satunya adalah Syech Abdul Ghani Asyi (alm) yaitu mantan Ketua Bulan Sabit Merah Timur Tengah, Dr jalal Asyi mantan Wakil Menteri Kesehatan Arab Saudi (alm), DR Ahmad Asyi mantan Wakil Menteri Haji dan Wakaf.

Tahun 1672 Syarif Barakat mengutus duta besarnya ke kerajaan Moghul di New Delhi untuk mengingatkan lagi tentang pentingnya sumbangan dari kerajaan-kerajaan yang digunakan untuk mempertahankan eksistensi Mekkah dan peradaban Islam lainnya. Namun, saat itu Raja Aurangzeb (1658 – 1707) dari Kerajaan Moghul belum mampu memenuhi permintaan Syarif Barakat. Rombongan duta besar dari Tanah Hijaz ini tersendat di Moghul selama 4 tahun dan bahkan tak belum sempat bertatap muka dengan Sang Raja.

Akan tetapi, dari sini duta Syarif Barakat disarankan untuk mengumpulkan dana pemeliharaan Tanah Hijaz, Mekkah  dan Madinah, dengan melanjutkan rute kafilah ke ujung Pulau Sumatera, yaitu menuju Kesultanan Aceh Darussalam. Akhirnya kafilah ini pergi ke Aceh dan bertemuseorang ratu dengan gelar Sri Ratu Zakiatuddin Inayatsyah (1678 – 1688). Saat itu Ratu tersebutsedang mendapat perlawanan dari kaum Wujudiyah yang tidak ingin dipimpin oleh seorang perempuan.

Dengan kefasihannya dalam berbahasa Arab, Sri Ratu Zakiatuddin menerima utusan Syarif Barakat. Mereka dialog dengan bertabirkan kain. Sungguh senang rombongan tersebut dapat berjumpa langsung dengan penguasa Kesultanan Aceh Darussalam dimana tidak mereka dapatkan selama 4 tahun Kerajaan Moghul.

Setelah beberapa lama tinggal di Aceh, rombongan ini akhirnya mendapat dukungan penuh dari Sri Ratu Zakiatuddin. Mereka pulang ke Mekkah dengan membawa berbagai tanda mata sebagai simbol dukungan, yaitu: tiga kinthar emas murni, tiga rathal kamper (camphor), kayu cendana, dan juga binatang pencari kopi terbaik yaitu musang atau luwak (civet). Selain itu dibawa pula hadiah berupa tiga gulyun emas, yaitu alat penghisap tembakau, tiga lampu kaki dari emas (panyot dong) , lima lampu gantung dari emas untuk Masjidil Haram, dan lampu kaki serta kandil emas untuk disimpan di Masjid Nabawi.

Pada bulan September 1683, rombongan ini sampai kembali di tanah asal mereka, Mekkah. Sementara itu di Aceh selepas kepergian duta Arab terjadi pergantian kekuasaan dimana  Sri Ratu Zakiatuddin yang meninggal dan digantikan oleh adiknya Sri Ratu Kamalatsyah yang bergelar Potroe Punti. Berikutnya Putroe Punti diganti suaminya yang merupakan anggota rombongan duta besar Arab yang berkunjung, yaitu Syarif Hasyim.

Sementara di Mekkah juga terjadi perdebatan mengenai cenderamata yang dibawa rombongan duta besar dari Aceh tersebut. Syarif Barakat ternyata telah meninggal dunia dan digantikan putranya, Syarif Said Barakat.

Barang hadiah dari Kesultanan Aceh Darussalam sempat disimpan lama di rumah Syarif Muhammad Al Harits. Berikutnya dibagikan kepada para Syarif yang berhak atas tiga perempat dari hadiah dan sedekah diberikan kepada kaum fakir miskin. Sisanya diserahkan kepada Masjidil Haram dan Masjid Nabawi.

Peninggalan Aceh di Mekkah bukan hanya sumbangan emas dan barang hadiah lainnya tetapi harta wakaf yang masih wujud sampai saat ini yaitu tanah. Salah satunya adalah wakaf Habib Bugak Asyi di hadapan Hakim Mahkmah Syariyah Mekkah pada 18 Rabiul Akhir tahun 1224 H. Habib Bugak Asyi menyatakan keinginannya untuk mewakafkan sepetak tanah dengan sebuah rumah dua tingkat di atasnya dengan syarat untuk dijadikan tempat tinggal jemaah haji asal Aceh yang datang ke Mekkah.

Ada banyak tanah wakaf orang-orang Aceh di Mekkah yang saat itu menjadi tradisi sumbang menyumbang di Tanah Hijaz. Semua harta wakaf dari masyarakat Aceh masih tercatat rapi di Mahkamah Syariah Saudi Arabia. Berikut ini di antaranya:wakaf Syeikh Muhammad Saleh Asyi dan isterinya Syaikhah Asiah  di Qassasyiah; wakaf Muhammad Saleh Asyi di Jumrah ula di Mina; rumah wakaf di kawasan Baladi di Jeddah; wakaf Sulaiman bin Abdullah Asyi di Suqullail (Pasar Seng), wakaf Muhammad Abid Asyi; wakaf Abdul Aziz bin Marzuki Asyi; wakaf Datuk Muhammad Abid Panyang Asyi di Mina; wakaf Aceh di jalan Suq Al Arab di Mina; rumah Wakaf di Taif; rumah Wakaf di kawasan Hayyi al-Hijrah Mekkah; rumah Wakaf di kawasan Hayyi Al-Raudhah; Mekkah; rumah Wakaf di kawasan Al Aziziyah, Mekkah; wakaf Aceh di Suqullail, Zugag Al Jabal, dikawasan Gazzah (belum diketahui pewakafnya); Abdurrahim bin Abdullah bin Muhammad Asyi di Syamiah dan Chadijah binti Muhammad bin Abdullah Asyi di Syamiah; rumah wakaf Syech Abdurrahim bin Jamaluddin Bawaris Asyi (Tgk Syik di Awe Getah)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar