Rabu, 22 Februari 2012

Patgulipat Wakaf Baitul Asyi

Oleh Hermansyah  


Tidak banyak dari jamaah haji (hujjaj) Aceh yang mengetahui keberadaan Baitul Asyi  di Mekkah, tanah yang diwakafkan indatunya khusus untuk hujjaj dari Aceh. Warisan paling berharga yang diberikan para leluhur terdahulu sebagai bentuk kepedulian mereka terhadap generasinya itu kini menjadi aset bisnis yang megah dan strategis di sekitar pelataran Masjidil Haram. 


Salah satunya terletak di daerah Qusyasyiah bertepatan dengan bab al-Fath Masjidil Haram, seperti hotel Ajyad (Funduk Ajyad) bertingkat 25 dan Menara Ajyad (Burj Ajyad) bertingkat 28 yang berjarak  sekitar 500-600 meter dari Masjidil Haram. Kedua hotel tersebut mampu menampung lebih  dari 7.000 jamaah yang dilengkapi dengan infrastruktur lengkap. Wakaf tersebut semakin bertambah dengan pembelian beberapa aset lagi. Hasil sumbangan, sedekah, dan infak hujjaj Aceh diwakafkan dalam bentuk tanah dan rumah di seputar Masjidil Haram tersebut yang dikoordinir  oleh Habib Bugak sekitar tahun 1224 H/ 1809 M.





Sebagian berpendapat bahwa nama asli Habib Bugak adalah Habib Abdurrahman bin Alwi al-Habsyi dari Monklayu. Sebagian lagi menyebut ia berasal dari daerah Bugak di Aceh Timur, Bireuen atau Pidie. Sulitnya informasi tersebut diakibatkan tidak ada bukti tertulis  secara komprehensif. Melalui lembaran sarakata (surat Sultan) Aceh yang saya peroleh, tertera stempel kesultanan yang menunjukkan originalitasnya. Disebutkan bahwa ia bernama Sayyid ‘Abdurrahman bin ‘Alwi Peusangan, yang diberi kuasa pengelolaan tanah di wilayah Mutiara di sebelah barat Blang Pancang hingga Krueng Air sebelah timur dan hingga perbatasan Krueng Geukueh.


Tanah wakaf di Mekkah menunjukkan bukanlah milik Habib Bugak semata, akan tetapi juga secara kolektif dari jamaah haji Aceh setiap tahunnya yang dikelola oleh beberapa orang Aceh di Mekkah yang dipimpin oleh Habib Bugak pada periode tersebut. Faktanya adalah Habib Bugak dengan sadar mengikrar di depan Hakim Mahkamah Syar’iyah Mekkah sekitar tahun 1224 H/ 1809 M dengan mewakafkan tanah dan rumah untuk jamaah haji Aceh dan orang Aceh di Mekkah, bukan kepada anak cucunya, dan dikelola oleh nadhir (Bada Pengelola) wakaf yang dibentuk oleh mahkamah. 


Ternyata, alasan di atas semakin mendasar jika melihat “tradisi wakaf” orang Aceh yang sangat kuat pada abad 18 sampai 20. Tradisi yang telah membentuk sosial masyarakat Aceh makmur dengan modal berlimpah. Sebut saja seperti dana wakaf untuk pembelian kapal perang Turki beserta biaya prajuritnya di Aceh, dana wakaf untuk diplomasi Abdurrahman al-Zahir ke Singapura, Turki, dan ke Arab. Atau periode perjuangan kemerdekaan RI seperti pembelian pesawat Seulawah 01, dana bantuan radio Rimba Raya, modal emas tugu Monas Jakarta, dan lain-lainnya. Semua itu diperoleh dari dana bantuan dan wakaf rakyat Aceh.


Demikian juga Baitul Asyi di Mekkah, wakaf Aceh di Mekkah sejak meninggal Habib Bugak hingga akhir abad 20 (1999) atau sekitar dua ratus tahun menjadi sangat misterius. Mayoritas  orang Aceh tidak pernah tahu bagaimana pengelolaan warisannya, jumlah Baitul Asyi, dan pengurusnya. Namun, dibalik ketidakjelasannya, ia juga menjadi mutiara indah di tengah kota Mekkah, karena pada tahun 1980 pemerintah Indonesia melalui kedutaannya di Jeddah memohon untuk mengelola Baitul Asyi bagi jamaah Indonesia, akan tetapi ditolak oleh Mahkamah Syari’ah Arab Saudi. Alasannya sederhana, wakaf tersebut jelas diperuntukkan kepada jamaah haji Aceh. Alasan kedua,  pada tahun 1809 negara RI belum terbentuk wujudnya, dimana Aceh sudah mengingkrarkan kedaulatan kesultanannya.


Walaupun tidak ingin dikatakan hikmah dibalik duka gempa dan tsunami Aceh 2004, akan tetapi hujjaj Aceh mendapat perhatian khusus  pascagempa tsunami, termasuk transparansi pengelolaan wakaf Aceh di Mekkah.  


Sejak tahun 2006 M (1427 H) nadhir Baitul Asyi telah melunasi kompensasi pemondokan kepada jamaah haji asal Aceh dengan total Rp 13,5 M, tahun 2007 (1428 H) sebesar Rp 15 M, tahun 2008  (1429 H)  Rp 14,54 M, dan tahun 2010 (1430 H) sebesar Rp 14.878 M kepada 4.133 jamaah haji Aceh. 


Jika memang biaya pemondokan Baitul Asyi adalah hak hujjaj Aceh, maka seluruh hujjaj Aceh sejak awal tahun 1800-an hingga 2005 wajib dibayar sebagai kompensasi pemondokannya. Patgulipat aset dana wakaf Aceh pun selama hampir 200 tahun ini sangat menggiurkan, karena setiap tahunnya aset Baitul Asyi terus meningkat, namun para hujjaj Aceh tidak pernah mendapat informasi dana kelolaan tersebut, termasuk manfaatnya. Sedangkan di sisi lain, biaya haji terus membengkak setiap tahun tanpa pelayanan yang sepadan diterima jamaah haji.


Kompensasi dan ganti rugi memang perlu, namun bukan solusi yang terbaik menangani masalah haji Indonesia, khususnya Aceh. Problema haji di dalam negeri memiliki keunikan tersendiri, dari tebang pilih adanya prioritas calon jamaah haji, quota terbatas dengan waiting list yang berkepanjangan, hingga penyalahgunaan dana simpanan jamaah haji oleh oknum-oknum tertentu yang dijadikan sebagai uang jaminan bisnis. 


Sedangkan di Arab Saudi, pemondokan hujjaj Indonesia, termasuk jamaah dari Aceh, selalu menjadi ancaman dan permasalahan setiap tahunnya, mulai dari tidak memenuhi standar kriteria yang ditetapkan pemerintah Arab Saudi, fasilitas infrastruktur kurang memadai, hingga jarak tempuh yang jauh antara pusat ibadah Masjidil Haram dengan hotel pemondokan. Hal itu tidak sebanding dengan jamaah negeri jiran, padahal biaya dan ongkos haji tidak jauh berbeda jumlahnya.


Berbagai faktor tersebut mengakibatkan para hujjaj kelelahan, letih, sakit dan kurang maksimal menunaikan ibadahnya. Tidak sedikit para hujjaj harus tidur (istirahat) di pelataran Masjid Haram karena kesasar atau tidak tahu arah pulang, dan harus menginap di pelataran Masjid akibat pemondokan jauh. Selain itu, bukan fenomena asing jika melihat para hujjaj Indonesia (termasuk Aceh) harus membawa bekal makanan dan rantangan bersama sajadah (peralatan shalat) ke masjid, ini dikarenakan pemondokan jamaah berada jauh di masjid, sehingga mereka menetap, istirahat, dan tidur dari pagi sampai malam di pelataran masjid. Mereka harus diterpa angin dan cuaca ekstrem yang berbeda jauh dengan negerinya. 


Itu merupakan realita perjuangan bagi jamaah Aceh dalam beribadah selama haji. Namun dengan tidak menjaga kesehatan juga bukan pilihan yang baik dalam beribadah haji. Ibadah  membutuhkan stamina lebih dan tubuh yang prima dan sehat. Apalagi tidak sebanding bila melihat jamaah haji negera jiran yang mendapat pemondokan haji bergandengan dengan Masjidil Haram, padahal  ongkos haji tidak jauh berbeda.


Jika Pemerintah Aceh sudah “baligh”, maka lazim untuk mengurus wakafnya berkoordinasi dengan nazhir Baitul Asyi dalam pengelolaan wakaf Aceh secara transparan, profesional, adil, dan bijak. Karena wakaf Baitul Asyi bukan sekadar hitungan materi atau pengembalian dana pemondokan hujjaj Aceh. Ini juga menyangkut  kedewasaan dalam mengelola warisan leluhur, melayani tamu-tamu Allah sebaik-baiknya sehingga hujjaj Aceh dapat beribadah dengan nyaman dalam kondisi sehat dan prima. Semoga hujjaj Aceh dapat segera menempati Baitul Asyi untuk memudahkan melaksanakan ibadah sekaligus dapat mengurangi panjangnya waiting list calon haji Aceh yang setia menunggu panggilan Allah. 


* Penulis adalah staf pengajar Fakultas Adab IAIN Ar-Raniry,  magister bidang filologi Islam di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.


sumber: Serambi Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar